MENERAPKAN WWL (WEANING WITH LOVE) ATAU MENYAPIH DENGAN CINTA TANPA DRAMA



Menjadi ibu memberiku berjuta pengalaman baru, mengajarkanku tentang banyak hal dan membuatku merasakan beberapa perasaan baru yang sebelumnya tak pernah aku rasakan. Mulai dari saat masa kehamilan, melahirkan, menyusui, memberi MPASI sampai tiba saatnya untuk menyapih. 

Semua hal yang telah aku lalui tak mudah tapi juga tidak selalu menyusahkan. Memiliki anak itu sangat menyenangkan. Walau kadang tersisip emosi dan amarah, disinilah aku belajar lebih memahami dan memperluas rasa sabar.

MENYAPIH.
Proses yang baru saja berhasil kami lalui. Iya kami, aku dan anakku. Proses yang sulit yang harus kami hadapi berdua. Dimana kami seolah "dipisahkan" dengan apa yang telah menyatukan kami sejak kehadirannya. 

Berbagai metode disarankan banyak orang untukku, mulai dari mengolesi payudara dengan sesuatu yang pahit, berwarna, berbau dan lain sebagainya. Dimana metode-metode tersebut akan membuat anak trouma untuk menyusui dan akhirnya berhenti. 

Sebagail millennial mom, aku mencoba menerapkan metode yang sedang happening dan dianggap cara terbaik serta tidak menimbulkan trouma adalah Weaning With Love (WWL) atau Gentle Weaning yaitu Menyapih Dengan Cinta. 

Dikutip dari laman KellyMom
Menyapih dengan cinta itu menyapih dengan pendekatan perlahan, tidak mendadak, tidak mengabaikan anak dan membuat anak tidak merasa akan kehilangan ASI. Caranya selain sounding dari jauh-jauh hari, mulai untuk tidak menawarkan ASI juga tidak menolak ketika anak meminta. Lalu mengurangi frekuensi menyusui secara perlahan dan berusaha mengalihkan pengganti ASI seperti minum air putih atau jus buah. Serta perbanyak kontak fisik agar anak tetap merasa disayang walau tidak dengan menyusui.

Aku mulai menerapkan WWL ketika anakku berusia 22 bulan. Mulai dari sounding dan tidak pernah menawarkan ASI. Ketika anakku ingin ASI aku selalu berkata hal ini berulang-ulang.
"Aa, sebentar lagi aa sudah ga boleh nenen. Aa sudah besar sudah bukan baby lagi. Nenennya bunda sebentar lagi mau habis. Nenen itu hanya untuk baby ya nak"
Apa reaksi anakku ketika aku berkata demikian?
Dia justru lebih sering meminta "nenen" tapi selalu bilang "nenen wat baby bun..." (baca: nenen hanya buat baby bun)

Sounding berjalan sekitar 1 bulan. 
Apa yang terjadi?
Anakku tidak berkurang frekuensi menyusunya. Tapi, dia mengerti menyusu itu untuk anak bayi dan dia bukan bayi lagi. Sampai suatu ketika anakku beberapa kali tanpa sadar menggigit ketika menyusu. Bahkan sampai putingku berdarah. Aku sampai pada titik kegalauan apakah ini saatnya untuk benar2 tidak memberi ASI lagi?. 

Akhirnya aku memutuskan untuk tidak memberinya ASI lagi dengan mencoba mengalihkannya dengan berbagai hal. Ketika dia ingin menyusu aku memerinya susu UHT atau jus buah atau air mineral. Mengajaknya bermain sampai dia lupa dengan menyusu. Bahkan dia tertidur sendiri karena kelelahan bermain tanpa menyusu.

Berhasil? iya berhasil disian hari. Benar-benar tanpa drama. 
Akan tetapi, tiba malam hari. Anakku tidak mau susu UHT ataupun yang lainnya seharrian tidak menyusu seperti membuatnya "sakau". Mukanya menyiratkan bahwa yang dia inginkan sekarang hanyalah "nenen". Lalu dia menangis, meraung bahkan seperti sedang tantrum. Pertahanankupun goyah, akhirnya ku menyusuinya lagi.

Setelah kejadian itu, ketika anakku ingin menyusu dan aku berusaha menundanya, dia akan menangis kencang sambil menghentakkan kakinya. Lalu akupun tak tega meihatnya menangis seperti  itu, lalu aku menyusuinya. Lagi dan lagi. Sungguh lemah sekali pertahanan bundamu nak.

Memasuki bulan puasa, anakku memasuki usia 23 bulan. Aku berusaha membulatkan tekad untuk menyapihnya. Entah kenapa aku benar-benar yakin untuk meyapihnya sekarang. Setelah aku meyakinkan diriku sendiri aku berusaha yakin bahwa anakku juga bisa. Malam menyusui terakhir aku terus berkata kepada anakku. "Aa besok kita mulai yah, aa ga boleh nenen lagi. Waktu aa nenen udah selesai kan aa udah bukan baby".

Keesokan harinya, ajaib dia tidak meminta "nenen sama sekali". 
Tapi.......
Ketika ingin tidur siang agak rungsing sedikit. Aku memeluknya dan mengusapi lalu berkata kepadanya "walau udah ga nenen, bunda tetap sayang aa, bunda makin sayang sama aa". Mukanya seketika menahan tangis. Raut mukanya sedih diapun menangis tetapi tidak memaksa untuk menyusu. Sepertinya dia mulai mengerti bahwa dirinya sudah tidak boleh menyusu lagi. Sesungguhnya ini lebih sulit untukku. Melihat raut sedih dan menangis perlahan anakku, rasanya ingin langsung menyusuinya lagi. 

My support  system seperti suami, orangtua, mertua, adik-adik dan semua yang berada disekitarku mendukungku untuk menahan rasa karena anakku sudah mulai mengerti meski dia nampak sangat sedih menahan untuk meminta menyusu. Karena jika kuberi lagi, runtuhlah kepercayaan yang telah dibangun bersama. Aku harus yakin anakku pasti bisa. Akupun pasti bisa.

Aku tidak menyangka proses menyapih membuatku sesedih ini, rasanya seperti melepaskan anakku yang mau beranjak dewasa. Lebay ???. Mungkin iya, tapi aku tak peduli. Kurasa memang seperti itu ketika jadi ibu. Aku jadi ingat seberapa khawatirnya mama dulu terhadapku dan aku menganggapnya lebay. Ternyata beginilah jadi ibu.

Satu hari pun berlalu dengan tangis tanpa tanpa tantrum dan tidak bisa tidur sampai larut malam. Keesokan harinyapun masih sedih dan menangis sedikit ketika ingin menyusu tapi dia bilang "Aa ga boyeh nenen agi, susu ja bun". Sampai hari ke 3, anakku sudah hilang raut sedih yang menyelimutinya 2 hari lalu. Hari ini dia tampak seperti biasanya ceria. Ketika haus dia akan meminta air mineral, terkadang susu. Makanya pun mulai lebih sering dan porsinya lebih banyak. 

Aku ingin mengetesnya dengan menawarkan menyusu "Aa udah ga nenen lagi ya? mau nenen ga?". Dan diapun menjawab "Aa dah gede bun butan baby agi. Nenen abis". Terharu, duh ingin menangis. I am so proud of him. Justru  dengan dia sepengertian inilah aku makin mellow.

Hari-haripun berjalan seperti biasa dengan anakku yang sudah tidak "nenen" lagi. Lalu apakah yang aku lakukan ini adalah metode WWL atau menyapih dengan cinta?? Akurasa iya, karena setiap ibu dan anak punya cerita masing-masing tentang cintanya dalam menyapih. Apapun cara tambahan yang dilakukan pastilah seorang ibu melakukannya dengan penuh cinta.

WWL tanpa Drama?
Aku rasa tidak mungkin ada yang bisa melakukannya tanpa drama, karena bagaimana tidak, jadi seorang ibu itu mudah sekali mellow dan lebay, pastilah ada drama dalam proses menyapih. 

Ini ceritaku tentang Kami (Aku dan Raf) yang telah berhasil melewati proses MENYAPIH. Terimakasih sudah membaca.
I loved to share and i hope you share yours on comment


Comments

Popular posts from this blog

Latihan Pascal

Home Learning with RAF and Bunda Millati

LINK BELANJA ONLINE MILLATI